ETIKA BISNIS
ETIKA UTILITARIANISME
Kelompok
6
3EA16
Disusun
Oleh:
Nadya Eka
Putri
15216274
Nurul
Fauziah
15216616
Ranindya Putri
R.
16216082
Yudha
Kumara
17216824
ATA 2019/2020
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Gunadarma
Jl.
Margonda Raya No. 100, Depok
A. Gambaran Umum Etika Utilitarianisme
Utilitarianisme
berasal dari kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Teori utilitirianisme
mengatakan bahwa suatu kegiatan bisnis adalah baik dilakukan jika bisa
memberikan manfaat kepada sebagian besar konsumen atau masyarakat. Menurut
suatu perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran utilitarianisme kriteria untuk
menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the
greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.
Teori
utilitarianisme sebagai teori etika kegunaan suatu tindakan ekonomis, sesuai
dengan prinsip-prinsip ekonomis. Teori ini cukup dekat dengan teori cost
benefit analysis yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi.
B. Tujuan Pembelajaran
· Untuk
mengetahui pengertian dari etika utilitarianisme.
· Untuk
mengetahui manfaat dari etika utilitarianisme dalam bisnis.
C. Etika Utilitarianisme
Teori
utilitirianisme mengatakan bahwa suatu kegiatan bisnis adalah baik dilakukan
jika bisa memberikan manfaat kepada sebagian besar konsumen atau masyarakat.
Teori utilitarianisme sebagai teori etika kegunaan suatu tindakan ekonomis,
sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomis. Teori ini cukup dekat dengan teori cost
benefit analysis yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat yang
dimaksudkan utilitarianisme bisa dihitung juga sama seperti menghitung untung
dan rugi atau kredit dan debit dalam ekonomi. Utilitarianisme juga disebut
suatu teori teologis, sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan
diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Perbuatan yang bermaksud baik
tetapi tidak menghasilkan apa-apa menurut utilitarianisme tidak pantas disebut
baik.
Sonny
Keraf merumuskan tiga kriteria obyektif dalam kerangka etika utilarianisme
untuk menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan:
·
Manfaat
Kebijaksanaan
atau tindakan yang baik adalah menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya,
kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian
tertentu.
·
Manfaat Terbesar
Suatu
kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral jika menghasilkan lebih
banyak manfaat dibandingkan dengan kerugian. Atau, tindakan yang baik adalah
tindakan yang menimbulkan kerugian terkecil.
·
Manfaat Terbesar Bagi Sebanyak Mungkin Orang
Suatu
tindakan dinilai baik secara moral hanya jika menghasilkan manfaat terbesar
bagi sebanyak mungkin orang atau suatu tindakan dinilai baik secara moral jika
membawa kerugian yang sekecil mungkin bagi sedikit orang.
Bagi
tiga kriteria obyektif diatas, utilitarianisme dipandang memiliki beberapa
kelebihan, yaitu:
1.
Utilitarianisme menyediakan suatu
rasionalitas dalam mengambil tindakan maupun menilai tindakan.
Ada
suatu alasan yang rasional masuk akal mengapa seseorang memilih suatu tindakan
tertentu, bukan yang lainnya. Etika ini menggambarkan apa yang seharusnya
dilakukan orang yang rasional dalam mengambil keputusan di hidup ini, termasuk
keputusan moral. Dengan demikian, keputusan moral didasarkan pada kriteria yang
dapat diterima dan dibenarkan oleh siapa saja. Siapa saja dapat menjadikannya
sebagai rujukan kongkrit. Ada alasan kongkrit mengapa suatu tindakan lebih baik
daripada yang lainnya dan bukan sekedar metafisik mengenai perintah Tuhan atau
agama.
2.
Utilitarianisme sangat menghargai
kebebasan setiap pelaku moral.
Setiap
orang diberi kebebasan dan otonomi sepenuhnya untuk memilih suatu tindakan
tertentu berdasarkan tiga kriteria obyektif dan rasional seperti dijelaskan di
atas. Ia tidak lagi melakukan suatu tindakan karena mengikuti tradisi, norma
atau perintah tertentu, akan tetapi ia memilihnya berdasarkan kriteria yang
rasional. Orang tidak lagi merasa dipaksa karena takut melawan perintah Tuhan,
takut akan hukuman, takut akan cercaan masyarakat dan lain sebagainya-
melainkan bebas memilih alternatif berdasarkan alasan-alasan yang diakuinya
sendiri nilai objektifitasnya.
3.
Utilitarianisme memiliki nilai
universal.
Suatu
tindakan dipandang baik secara moral bukan hanya karena tindakan tersebut
mendatangkan manfaat terbesar bagi orang yang melakukan tindakan tersebut,
melainkan juga karena mendatangkan manfaat terbesar bagi semua orang yang
terkait. Dengan demikian, utilitarianisme tidak bersifat egoistis. Etika ini
tidak mengukur baik-buruknya suatu tindakan berdasarkan kepentingan pribadi
atau berdasarkan akibat baiknya demi diri sendiri dan kelompok sendiri.
Sementara
itu, Franz Magnis-Suseno menyatakan bahwa tolak ukur untuk menilai tindakan
bermoral dalam utilitarianisme terdiri atas empat unsur, yaitu:
1.
Utilitarianisme mengukur moralitas suatu
tindakan atau peraturan berdasarkan akibat-akibatnya. Moralitas tindakan tidak
melekat pada tindakan itu sendiri. Apabila akibat yang diusahakan baik, maka
tindakan itu benar secara moral dan apabila tidak baik, maka tindakan itu tidak
baik juga secara moral.
2.
Akibat yang baik adalah akibat yang
berguna (utility), dimana keguanaan
tersebut menunjang apa yang bernilai pada dirinya sendiri, yang baik pada
dirinya sendiri.
3.
Oleh karena yang baik pada dirinya
sendiri adalah kebahagiaan, maka tindakan yang benar secara moral adalah yang
menunjang kebahagiaan. Yang membahagiakan adalah nikmat dan kebebasan dari
perasaan tidak enak, karena itulah yang diinginkan manusia. Mengusahakan
kebahagiaan sama dengan mengusahakan pengalaman nikmat dan menghindari pengalaman
yang menyakitkan.
4.
Yang menentukan kualitas moral suatu
tindakan bukan kebahagiaan si pelaku sendiri atau kebahagiaan kelompok, kelas atau
golong tertentu, melainkan kebahagiaan semua orang yang terkana dampak tindakan
itu. Dengan demikian, utilitarianisme tidak bersifat egois, melainkan menganut
universalimestis.
Dalam
perdebatan antara pata etikawan, teori utilitarianisme menemui banyak kritik.
Keberadaan utama yang dikemukakan adalah bahwa utilitarianisme tidak berhasil
menampung dalam teori dua paham etis yang amat penting, yaitu keadilan dan hak.
Namun, utilitarianisme dapat disimpulkan sebagai aturan yang membatasi diri
pada justifikasi aturan-aturan moral.
D. Manfaat Etika Utilitarianisme dalam
Bisnis
Salah
satu contoh manfaat utilitarianisme adalah sebagai proses dan standar
penilaian. Secara umum etika utilitarianisme dapat dipakai dalam dua wujud yang
berbeda.
1. Sebagai
proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk
bertindak.
2.
Sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah
dilakukan.
E. Kelemahan Etika Utilitarianisme
· Manfaat
merupakan sebuah konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis malah
menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit. Karena, manfaat bagi manusia berbeda
antara satu orang dengan orang yang lain.
· Persoalan
klasik yang lebih filosofis sifatnya adalah bahwa etika utilitarianisme tidak
pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya
memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya. Padahal,
sangat mungkin terjadi suatu tindakan pada dasarnya tidak baik, tetapi mendatangkan
keuntungan atau manfaat.
· Etika
utilitarianisme tidak pernah menganggap serius kemauan atau motivasi baik
seseorang.
· Variabel
yang dinilai tidak semuanya bisa dikuantifikasi.
· Kesulitan
menentukan prioritas.
· Membenarkan
hak kelompok minioritas dikorbankan demi kepentingan tertentu.
F. Studi Kasus
PT.
Freeport Indonesia (PTFI) merupakan perusahaan afiliasi dari FreeportMc MoRan
Copper & Gold Inc. PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi
terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Beroperasi di daerah
dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia. Kami memasarkan
konsentrat yang mengandung tembaga, emas, dan perak ke seluruh penjuru dunia.
PT.
Freeport Indonesia merupakan jenis perusahaan multinasional (MNC), yaitu
perusahaan international dan transnasional yang berkantor pusat di satu negara
tetapi kantor cabang di berbagai negara maju dan berkembang. Contoh kasus
pelanggaran etika yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia:
·
Mogoknya hampir seluruh pekerja PT
Freeport Indonesia (FI) tersebut disebabkan perbedaan indeks standar gaji yang
diterapkan oleh manajemen pada operasional Freeport di seluruh dunia. Pekerja
Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih rendah daripada pekerja
Freeport di negara lain untuk level jabatan yang sama. Gaji sekarang per jam
USD 1,5USD 3. Padahal, bandingan gaji di negara lain mencapai USD 15-USD 35 per
jam. Sejauh ini, perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport
bersikeras menolak tuntuntan pekerja, entah apa dasar pertimbangannya.
·
Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua
yang digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa karena tidak mencapai 1 persen
keuntungan bersih PT. FI. Malah rakyat Papua membayar lebih mahal karena harus
menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua
yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung
generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008
tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti
paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006).
Kestabilan
siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer penting
kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya
mesin anak korporasi raksasa Freeport-Mc Moran tersebut dikawasan Papua
memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan
global.
Sebagai
perusahaan berlabel MNC (multinational company) yang otomatis berkelas dunia,
apalagi umumnya korporasi berasal dari AS, pekerja adalah bagian dari aset
perusahaan. Menjaga hubungan baik dengan pekerja adalah suatu keharusan. Sebab,
disitulah terjadi hubungan mutualisme satu dengan yang lain. Perusahaan
membutuhkan dedikasi dan loyalitas agar produksi semakin baik, sementara
pekerja membutuhkan komitmen manajemen dalam hal pemberian gaji yang layak.
Pemerintah
dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia terbukti tidak
memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal normatif yang sangat
mendasar. Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa kepada PT FI,
privilege berlebihan, ternyata sia-sia.
Berkali-kali
perjanjian kontrak karya dengan PT FI diperpanjang kendati bertentangan dengan
UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan sudah
diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Alasan yang dikemukakan hanya
klasik, untuk menambah kocek negara. Padahal, tidak terbukti secara signifikan
sumbangan PT FI benar-benar untuk negara. Kalimat yang lebih tepat, sebetulnya,
sumbangan Freeport untuk negara Amerika, bukan Indonesia.
Justru
negara ini tampak dibodohi luar biasa karena PT FI berizin penambangan tembaga,
namun mendapat bahan mineral lain, seperti emas, perak, dan konon uranium.
Bahan – bahan itu dibawa langsung keluar negeri dan tidak mengalami pengolahan
untuk meningkatkan value di Indonesia.
Ironisnya,
PT FI bahkan tidak listing di bursa pasar modal Indonesia, apalagi
Freeport-McMoran sebagai induknya.
Keuntungan
berlipat justru didapatkan oleh PT FI dengan hanya sedikit memberikan pajak
PNBP kepada Indonesia atau sekedar PPh badan dan pekerja lokal serta beberapa
tenaga kerja asing (TKA). Optimis penulis, karena PT FI memiliki pesawat dan
lapangan terbang sendiri, jumlah pasti TKA itu tidak akan bisa diketahui oleh
pihak imigrasi.