Senin, 22 Juli 2019

ETIKA UTILITARIANISME PADA ETIKA BISNIS (ETIKA BISNIS TUGAS PERTAMA)

ETIKA BISNIS

ETIKA UTILITARIANISME







Kelompok 6
3EA16

Disusun Oleh:

Nadya Eka Putri                                 15216274
Nurul Fauziah                                     15216616
Ranindya Putri R.                               16216082
Yudha Kumara                                   17216824




ATA 2019/2020
Fakultas Ekonomi
Universitas Gunadarma
Jl. Margonda Raya No. 100, Depok

A.    Gambaran Umum Etika Utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Teori utilitirianisme mengatakan bahwa suatu kegiatan bisnis adalah baik dilakukan jika bisa memberikan manfaat kepada sebagian besar konsumen atau masyarakat. Menurut suatu perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran utilitarianisme kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.
Teori utilitarianisme sebagai teori etika kegunaan suatu tindakan ekonomis, sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomis. Teori ini cukup dekat dengan teori cost benefit analysis yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi.

B.     Tujuan Pembelajaran
·      Untuk mengetahui pengertian dari etika utilitarianisme.

·      Untuk mengetahui manfaat dari etika utilitarianisme dalam bisnis.

C.    Etika Utilitarianisme
Teori utilitirianisme mengatakan bahwa suatu kegiatan bisnis adalah baik dilakukan jika bisa memberikan manfaat kepada sebagian besar konsumen atau masyarakat. Teori utilitarianisme sebagai teori etika kegunaan suatu tindakan ekonomis, sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomis. Teori ini cukup dekat dengan teori cost benefit analysis yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat yang dimaksudkan utilitarianisme bisa dihitung juga sama seperti menghitung untung dan rugi atau kredit dan debit dalam ekonomi. Utilitarianisme juga disebut suatu teori teologis, sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Perbuatan yang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa-apa menurut utilitarianisme tidak pantas disebut baik.
Sonny Keraf merumuskan tiga kriteria obyektif dalam kerangka etika utilarianisme untuk menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan:  
·         Manfaat
Kebijaksanaan atau tindakan yang baik adalah menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.

·         Manfaat Terbesar
Suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral jika menghasilkan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan kerugian. Atau, tindakan yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kerugian terkecil.

·         Manfaat Terbesar Bagi Sebanyak Mungkin Orang
Suatu tindakan dinilai baik secara moral hanya jika menghasilkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau suatu tindakan dinilai baik secara moral jika membawa kerugian yang sekecil mungkin bagi sedikit orang.

Bagi tiga kriteria obyektif diatas, utilitarianisme dipandang memiliki beberapa kelebihan, yaitu:
1.      Utilitarianisme menyediakan suatu rasionalitas dalam mengambil tindakan maupun menilai tindakan.
Ada suatu alasan yang rasional masuk akal mengapa seseorang memilih suatu tindakan tertentu, bukan yang lainnya. Etika ini menggambarkan apa yang seharusnya dilakukan orang yang rasional dalam mengambil keputusan di hidup ini, termasuk keputusan moral. Dengan demikian, keputusan moral didasarkan pada kriteria yang dapat diterima dan dibenarkan oleh siapa saja. Siapa saja dapat menjadikannya sebagai rujukan kongkrit. Ada alasan kongkrit mengapa suatu tindakan lebih baik daripada yang lainnya dan bukan sekedar metafisik mengenai perintah Tuhan atau agama.

2.      Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral.
Setiap orang diberi kebebasan dan otonomi sepenuhnya untuk memilih suatu tindakan tertentu berdasarkan tiga kriteria obyektif dan rasional seperti dijelaskan di atas. Ia tidak lagi melakukan suatu tindakan karena mengikuti tradisi, norma atau perintah tertentu, akan tetapi ia memilihnya berdasarkan kriteria yang rasional. Orang tidak lagi merasa dipaksa karena takut melawan perintah Tuhan, takut akan hukuman, takut akan cercaan masyarakat dan lain sebagainya- melainkan bebas memilih alternatif berdasarkan alasan-alasan yang diakuinya sendiri nilai objektifitasnya.

3.      Utilitarianisme memiliki nilai universal.
Suatu tindakan dipandang baik secara moral bukan hanya karena tindakan tersebut mendatangkan manfaat terbesar bagi orang yang melakukan tindakan tersebut, melainkan juga karena mendatangkan manfaat terbesar bagi semua orang yang terkait. Dengan demikian, utilitarianisme tidak bersifat egoistis. Etika ini tidak mengukur baik-buruknya suatu tindakan berdasarkan kepentingan pribadi atau berdasarkan akibat baiknya demi diri sendiri dan kelompok sendiri.

Sementara itu, Franz Magnis-Suseno menyatakan bahwa tolak ukur untuk menilai tindakan bermoral dalam utilitarianisme terdiri atas empat unsur, yaitu:
1.      Utilitarianisme mengukur moralitas suatu tindakan atau peraturan berdasarkan akibat-akibatnya. Moralitas tindakan tidak melekat pada tindakan itu sendiri. Apabila akibat yang diusahakan baik, maka tindakan itu benar secara moral dan apabila tidak baik, maka tindakan itu tidak baik juga secara moral.
2.      Akibat yang baik adalah akibat yang berguna (utility), dimana keguanaan tersebut menunjang apa yang bernilai pada dirinya sendiri, yang baik pada dirinya sendiri.
3.      Oleh karena yang baik pada dirinya sendiri adalah kebahagiaan, maka tindakan yang benar secara moral adalah yang menunjang kebahagiaan. Yang membahagiakan adalah nikmat dan kebebasan dari perasaan tidak enak, karena itulah yang diinginkan manusia. Mengusahakan kebahagiaan sama dengan mengusahakan pengalaman nikmat dan menghindari pengalaman yang menyakitkan.
4.      Yang menentukan kualitas moral suatu tindakan bukan kebahagiaan si pelaku sendiri atau kebahagiaan kelompok, kelas atau golong tertentu, melainkan kebahagiaan semua orang yang terkana dampak tindakan itu. Dengan demikian, utilitarianisme tidak bersifat egois, melainkan menganut universalimestis.

Dalam perdebatan antara pata etikawan, teori utilitarianisme menemui banyak kritik. Keberadaan utama yang dikemukakan adalah bahwa utilitarianisme tidak berhasil menampung dalam teori dua paham etis yang amat penting, yaitu keadilan dan hak. Namun, utilitarianisme dapat disimpulkan sebagai aturan yang membatasi diri pada justifikasi aturan-aturan moral.

D.    Manfaat Etika Utilitarianisme dalam Bisnis
Salah satu contoh manfaat utilitarianisme adalah sebagai proses dan standar penilaian. Secara umum etika utilitarianisme dapat dipakai dalam dua wujud yang berbeda.
1. Sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak.
2. Sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan.

E.     Kelemahan Etika Utilitarianisme
·      Manfaat merupakan sebuah konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis malah menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit. Karena, manfaat bagi manusia berbeda antara satu orang dengan orang yang lain.
·      Persoalan klasik yang lebih filosofis sifatnya adalah bahwa etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya. Padahal, sangat mungkin terjadi suatu tindakan pada dasarnya tidak baik, tetapi mendatangkan keuntungan atau manfaat.
·      Etika utilitarianisme tidak pernah menganggap serius kemauan atau motivasi baik seseorang.
·      Variabel yang dinilai tidak semuanya bisa dikuantifikasi.
·      Kesulitan menentukan prioritas.
·      Membenarkan hak kelompok minioritas dikorbankan demi kepentingan tertentu.


F.     Studi Kasus
PT. Freeport Indonesia (PTFI) merupakan perusahaan afiliasi dari FreeportMc MoRan Copper & Gold Inc. PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia. Kami memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas, dan perak ke seluruh penjuru dunia.
PT. Freeport Indonesia merupakan jenis perusahaan multinasional (MNC), yaitu perusahaan international dan transnasional yang berkantor pusat di satu negara tetapi kantor cabang di berbagai negara maju dan berkembang. Contoh kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia:
·         Mogoknya hampir seluruh pekerja PT Freeport Indonesia (FI) tersebut disebabkan perbedaan indeks standar gaji yang diterapkan oleh manajemen pada operasional Freeport di seluruh dunia. Pekerja Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih rendah daripada pekerja Freeport di negara lain untuk level jabatan yang sama. Gaji sekarang per jam USD 1,5USD 3. Padahal, bandingan gaji di negara lain mencapai USD 15-USD 35 per jam. Sejauh ini, perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport bersikeras menolak tuntuntan pekerja, entah apa dasar pertimbangannya.
·         Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT. FI. Malah rakyat Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006).
Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-Mc Moran tersebut dikawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global.
Sebagai perusahaan berlabel MNC (multinational company) yang otomatis berkelas dunia, apalagi umumnya korporasi berasal dari AS, pekerja adalah bagian dari aset perusahaan. Menjaga hubungan baik dengan pekerja adalah suatu keharusan. Sebab, disitulah terjadi hubungan mutualisme satu dengan yang lain. Perusahaan membutuhkan dedikasi dan loyalitas agar produksi semakin baik, sementara pekerja membutuhkan komitmen manajemen dalam hal pemberian gaji yang layak.
Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia terbukti tidak memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal normatif yang sangat mendasar. Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa kepada PT FI, privilege berlebihan, ternyata sia-sia.
Berkali-kali perjanjian kontrak karya dengan PT FI diperpanjang kendati bertentangan dengan UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan sudah diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Alasan yang dikemukakan hanya klasik, untuk menambah kocek negara. Padahal, tidak terbukti secara signifikan sumbangan PT FI benar-benar untuk negara. Kalimat yang lebih tepat, sebetulnya, sumbangan Freeport untuk negara Amerika, bukan Indonesia.
Justru negara ini tampak dibodohi luar biasa karena PT FI berizin penambangan tembaga, namun mendapat bahan mineral lain, seperti emas, perak, dan konon uranium. Bahan – bahan itu dibawa langsung keluar negeri dan tidak mengalami pengolahan untuk meningkatkan value di Indonesia.
Ironisnya, PT FI bahkan tidak listing di bursa pasar modal Indonesia, apalagi Freeport-McMoran sebagai induknya.
Keuntungan berlipat justru didapatkan oleh PT FI dengan hanya sedikit memberikan pajak PNBP kepada Indonesia atau sekedar PPh badan dan pekerja lokal serta beberapa tenaga kerja asing (TKA). Optimis penulis, karena PT FI memiliki pesawat dan lapangan terbang sendiri, jumlah pasti TKA itu tidak akan bisa diketahui oleh pihak imigrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar